Google
Prof. Google mujiburrohman

Membincang Legalisasi, relevansi serta eksistensi teks eliminatif[1]
(Tela’ah kritis ulama-ulama kontemporer)

Prolog


“Tidaklah Kami hapus (naskh) suatu ayat atau melupakannya, kecuali Kami datangkan yang lebih baik dari sejenisnya. Tidaklah engkau tahu bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu”. (QS 2: 106)

Nasikh Mansukh, salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an yang menuai banyak kontroversi dari pelbagai kalangan, baik dari para jurisprudent atau pemikir-pemikir keislaman lainnya. Sebuah terma yang sampai saat ini masih hangat untuk di perbincangkan, bahkan sesuai dengan perkembangannya, semakin banyak polemik yang muncul berkaitan dengan terma nasikh mansukh itu sendiri, terutama yang menyangkut eksistensi ayat al-Qur’an yang di nyatakan terhapus oleh beberapa kalangan muwafiqin.

Tak akan ada yang menyangkal jika dikatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab kamil dan komphrehensif. Al-Qur’an bukan sesuatu yang kontroversial. Nilai sakralitasnya pun tampak jelas. Jika selama ini kita temui berbagai masalah yang berkaitan dengan al-Qur’an, baik dalam interpretasi atau media interpretasinya (Baca: Cabang-cabang Ilmu al-Qur’an), maka sebenarnya itu hanyalah hasil olahan para subyek pengkajinya yang mempunyai inklinasi world view yang berbeda saja, sehingga memunculkan pemikiran yang berbeda pula.

Al-Qur’an merupakan literatur sejarah, dengan tanpa menanggalkan nilai sakralnya sebagai wahyu dan kalam ilahi. Tentu saja, karena sebagian esensi hukum atau doktrin-doktrin agama, serta mashlahah terkemas cantik dalam bingkisan histori yang terangkai rapi di dalamnya. Dalam hal ini, asbab al-nuzul mempunyai peran penting dalam pengkajiannya, yang juga merupakan starting point dalam pembahasan terma Nasikh Mansukh. Seperti halnya yang di ungkapkan Nasr hamid Abu Zayd dalam karya monumentalnya Mafhum al-Nash, bahwa nasikh mansukh sangat berkait kelindan dengan pemahaman atau pengetahuan tentang asbab al-nuzul serta tartib al-ayat, meskipun dalam pelacakannya bukan merupakan sesuatu yang mudah, sehingga terkadang untuk menentukan jumlah ayat nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang di hapus) kerap mengalami kesulitan.

Dalam perkembangannya, muncul berbagai polemik yang sepertinya tidak ada titik final sebagai konklusi. Diantaranya, legalisasi Nasikh Mansukh itu sendiri, yang mana telah jamak kita ketahui, tidak semua ulama sepakat dengan adanya terma ini. Kemudian ketika kita melihat Nasikh Mansukh sebagai proses eliminasi atau penghapusan ayat serta hukum dalam al-Qur’an, maka tidak menutup kemungkinan akan muncul vonis negatif –Tuhan tidak konsisten atau “plin-plan”- terhadap Allah SWT, sebagai subyek dari tindak pemberhentian masa berlakunya hukum bagi mukalaf.

Dengan tidak memperbanyak bahasan normatif, penulis akan mencoba untuk masuk pada bahasan polemik yang muncul berkaitan dengan nasikh mansukh.

Definisi

Secara etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan atau eliminasi, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.[3]

Dalam segi terminologi, ternyata interpretasi ulama berbeda-beda antara ulama mutaqaddimin dan muta’akhirin. Cakupan makna yang di usung ulama mutaqadimin, di antaranya Pembatalan hukum yang di tetapkan terdahulu oleh hukum yang di tetapkan kemudian, pengecualian hukum yang bersifat umum (‘am) oleh hukum yang lebih khusus yang datang setelahnya (Khas), bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar, ataupun penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat Pada intinya, ulama mutaqadimin mengusung makna naskh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhirnya atau terhapusnya suatu hukum, disebabkan adanya hukum baru yang di tetapkan. Namun, interpretasi naskh yang di usung oleh mereka juga menyangkut hukum yang bersifat pembatasan atau pengkhususan bahkan pengecualian.

Berbeda dengan cakupan makna yang di katakan oleh para ulama muta’akhirin. Jika memperhatikan interpretasi ulama mutaqadimin, maka hal ini akan berujung pada sebuah kerancuan antara makna naskh, takhsis, qayad istisna’ bahkan bada’. Padahal, antara naskh dan yang tersebut di atas mempunyai perbedaan yang mendasar. Naskh dengan takhsis misalnya. Letak perbedaan antara keduanya ada pada “pembatalan”. Jika Naskh merupakan proses eliminasi suatu hukum oleh hukum yang datang setelahnya. Maka Takhsis hanyalah sebuah spesifikasi hukum tanpa menanggalkan eksistensi ayat sebelumnya. Atau naskh dengan bada’. Letak perbedaan antara keduanya ada pada “pengetahuan” sang subyek atas obyek (Nasikh Mansukh). Karena, Bada’ merupakan proses peniadaan hukum dengan tanpa adanya faktor kesengajaan, atau dengan kata lain, sang subjek belum mengetahui akan adanya penghapusan hukum tersebut. Oleh karenanya, para ulama muta’akhirin mempersempit cakupan makna naskh dengan mendefinisikannya sebagai amandemen sebuah ketentuan hukum atau berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian.[4]

Lain halnya dengan konsep yang di usung Muhammad Syahrour. Agaknya dia sependapat dengan tokoh kontroversial kita, Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan mengatakan bahwa, sejatinya naskh adalah sebuah penangguhan hukum, bukan amandemen ayat secara mutlak. Dari sini, nampak penolakan Syahrour terhadap konsep yang di gagas oleh ulama-ulama konvensional.

Starting point terma Naskh
Tentunya dalam hal ini, kita harus membedakan antara gerak kultural nasikh mansukh dengan termanya. Sejatinya, terma nasikh mansukh muncul pasca kenabian, sedangkan gerak kultural dari terma ini ada sejak zaman kenabian itu sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan terbentuknya sebuah konsep yang dianggap begitu problematik oleh sebagian kalangan. Dalam konsep nasikh mansukh, para ulama berpegang pada dua teks; Makkiyyah yang bersifat universal di sandingkan dengan teks Madaniyyah yang partikular.

Lalu yang menjadi starting point munculnya terma abrogasi ini adalah adanya asumsi kontradiksi ayat oleh orang-orang Makkah. Dan esensi ayat yang tidak sama itu seakan mengakibatkan kebingungan dari para ulama dalam aplikasinya. Ironisnya, tuduhan-tuduhan semacam itu (baca: kontradiksi) memunculkan stigma negatif tentang Nabi Muhammad Saw, yang beliau adalah seorang pembohong. Namun, sebenarnya ungkapan seperti itu muncul akibat bias subyektifitas mereka. Seperti halnya, ketika membincang alasan keberatan mereka atas di anulirnya teks riba yang merupakan kebiasaan orang-orang jahily dulu. Tentu saja hal ini mecuatkan respon negatif dari orang-orang Yahudi, mengingat riba merupakan sumber kekuasaan mereka atas gerak masyarakat. Maka tak heran ketika ada teks yang sama, yang menjanjikan balasan kebajikan hingga tujuh puluh kali lipat oleh Allah, muncul pulalah sebuah ungkapan yang seakan-akan menyudutkan-Nya, “Kami heran dengan Tuhan Muhammad, bagaimana Dia mengharamkan riba dan memberikannya kepada kami”.

Demikian juga, ketika ada instruksi Allah tentang perubahan arah kiblat ke Ka’bah yang sebelumnya berporos pada baitul Maqdis. Sekali lagi orang-orang Yahudi tidak setuju dengan hal ini, salah satu motif mereka adalah arogansi Yahudi dalam asumsinya bahwa dengan menghadapnya masyarakat ke arah bait al-Maqdis, berarti mereka telah mengekor orang-orang Yahudi.[5]

Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam menentukan nasikh dan mansukh. Diantaranya adalah dengan memperhatikan kronologi turunnya al-Qur’an. Sebab, nasikh mansukh erat kaitannya dengan asbab al-nuzul, terutama dalam menentukan mana ayat yang berperan sebagai eliminator (yang lebih akhir turun) dan mana ayat yang di nyatakan teranulir (yang turun sebelumnya). Dan tentunya, ayat-ayat yang di ambil mempunyai gejala kontradiksi yang mana tidak mungkin adanya penggabungan antara keduanya. Kemudian, para ulama juga mengatakan bahwa area naskh hanya sebatas pada ayat-ayat yang merujuk pada perintah atau larangan saja.

Menelisik lebih jauh tentang terma ini. Kita akan di hadapkan kepada beberapa polemik panjang, yang memperlihatkan begitu besarnya nilai kontroversial terma ini, yang mana berbanding seimbang dengan pemikiran subjektif setiap ulama yang mengusung pendapatnya masing-masing. Diantaranya, perdebatan seputar Legalisasi naskh ayat al-Qur’an yang mana disini mempunyai keterkaitan dengan nilai relevansi ayat-ayat yang oleh sebagian ulama di nyatakan teranulir. Selain itu, masalah yang berhubungan dengan salah satu pola Naskh, yaitu amandemen ayat al-Qur’an oleh Sunnah. Lalu, terlepas dari distorsi pemikiran yang telah berkembang, eksistensi teks al-Qur’an pun turut menjadi sebuah pertanyaan dalam wacana khazanah keislaman.

Legalisasi naskh; Problematika polemis

Tidak semua ulama mengamini legalisasi Nasikh Mansukh. Terlebih ulama-ulama kontemporer yang notabene lebih banyak berperan dalam proses liberalisasi al-Qur’an. Dalam hal ini, penulis akan memetakan menjadi tiga kelompok. Pertama, Kelompok yang berpendapat tentang kemutlakan adanya Nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Umumnya pendapat ini di pegang oleh ulama-ulama klasik, para ulama ushuluyyin serta teolog-teolog Islam, baik dari kalangan Asy’ary ataupun Mu’tazilah. Sebut saja, Imam empat madzhab, Syeikh Ali Jum’ah, al-Ghozali, al-Baqilani, Ibn al-katsir dan lain-lain.

Surat al-Baqarah 106, “Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”, merupakan salah satu dalil naqli untuk menjustifikasi pendapat mereka. Mereka menarik ayat yang di yakini sebagai prinsip dasar, dengan interpretasi “ayat” yang merupakan ketentuan-ketentuan hukum.
Mereka menganggap tak ada alasan logis untuk menafikan adanya naskh-mansukh dalam al-Qur’an. Secara nalar, bukan sesuatu yang aneh dan mustahil saat kita mengatakan bahwa Allah Swt mengamandemen ayat-ayat yang di turunkannya. Pergantian syariat atau hukum yang menjadi landasan bagi manusia, justru menunjukkan elastisitas implementasi substansi yang di usung, karena di sesuaikan dengan dhuruf yang ada saat ayat itu berlaku.

Ungkapan ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya tafsir al-Qur’an al Adzim, ketika mengcounter orang-orang Yahudi yang bersikeras ingin mempertahankan ajaran-ajarannya, dengan dalih sebuah kemustahilan jika Allah Swt menganulir hukum-hukum yang telah di tetapkan dalam Taurat. Beliau mengatakan, "Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya."[6]

Kedua, kelompok yang menolak adanya Nash secara Mutlak. Diantaranya, Abu Muslim al-Asyfihani, Muhammad Abduh, Muhammad Abid al-jabiry, Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry, dan lain-lain. Kelompok ini secara frontal membalikkan alasan yang dikemukakan oleh para pendukung naskh (baca: kelompok pertama). Jika para ulama (pendukung naskh) berpendapat bahwa nalar tidak melarang adanya naskh Mansukh dalam al-Qur’an, maka sebaliknya. Seperti yang di kemukakan oleh Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry dalam bukunya La Naskha fi al-Qur’an, limadza?, bahwa sesuatu yang rasional tidak selalu mengindikasikan kepada hal-hal yang bersifat konkret. Pun dalam hal ini, meski secara nalar tak ada yang menghalangi adanya naskh dalam al-Qur’an, namun juga tidak mengharuskan adanya wujud konkret (al-wujud al-fi’ly) nya.[7]

Sebab lain munculnya pro dan kontra ini adalah, perbedaan interpretasi pada lafadz “ayat” dalam surat al-Baqarah 106. Jika ulama klasik menginterpretasikan kata “ayat” sebagai nash atau ayat al-Qur’an itu sendiri. Berbeda dengan makna yang di usung oleh ulama-ulama kontemporer yang masuk pada klasifikasi kedua ini. Seperti Muhammad Abid al-Jabiry dan Muhyiddin Abu Bakar ibn Araby yang di amini oleh Muhammad Abduh, lafadz “ayat” yang di maksud adalah mu’jizat. Sehingga makna yang di hasilkan adalah penghapusan mu’jizat dengan adanya mu’jizat yang muncul setelahnya. Dan itu merupakan salah satu gerak kultural dan natural. Seperti saat lenyapnya malam karena adanya siang, ataupun sebaliknya.

Berbeda dengan interpretasi yang di gagas oleh Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry dalam penolakannya terhadap Nasikh mansukh. “Ayat” disini di artikan sebagai syari’at. Sehingga, Naskh yang di maksud adalah Naskh syari’at terdahulu dengan syari’at Nabi Muhammad Saw yang notabene lebih sempurna dan relevan fi kulli zaman wa al-makan. Jadi, jika dikatakan ada naskh dalam al-Qur’an maka itu adalah pendapat batil.

Dan kelompok yang terakhir adalah kelompok yang mengamini terma ini, hanya saja dengan konsep yang berbeda dengan apa yang di utarakan oleh ulama konvensional. Atau mungkin dengan redaksi lain, yaitu kelompok yang menolak naskh tidak secara mutlak, namun menawarkan konsep baru. Sebut saja, Muhammad Syahrour atau Nasr Hamid Abu zayd. Jika konsep yang di usung oleh para ulama klasik adalah sebuah amandemen ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat yang turun setelahnya, maka konsep dasar yang di pake oleh kelompok ini adalah, naskh dengan makna “penangguhan” hukum. Yang mana hal ini mempunyai keterkaitan yang erat dengan relevansi ayat-ayat yang di nyatakan teranulir oleh sebagian ulama. Pasalnya, menurut mereka, sebenarnya tidak ada ayat al-Qur’an yang teramandemen. Maka, ayat-ayat yang di nyatakan mansukh oleh sebagian kalangan, secara otomatis akan bisa di tarik kembali untuk di aplikasikan lagi. Masing-masing mempunyai area sendiri. Maka, saat ayat-ayat tersebut di pandang perlu dan sesuai dengan kondisi yang ada, maka penarikan kembali ayat-ayat itu akan mendapat legitimasi pula.

Masing-masing kelompok mempunyai landasan yang cukup rasional dalam menuangkan pendapat mereka. Namun, inklinasi subjektif penulis lebih kepada pendapat ketiga yang menginterpretasikan kata naskh dengan penangguhan. Dengan memperhatikan salah satu fungsi naskh –seperti yang di ungkapkan Nasr hamid Abu Zayd dalam kitabnya Mafhum al Nash- sebagai penahapan dalam tasyri’ dan pemberian kemudahan, maka tidak di sangsikan bahwa tetap di tampilkannya teks-teks mansukh oleh realitas, apabila kondisi yang di hadapi kembali pada keadaan semula, sehingga mendukung dalam aplikasi teks tersebut. Namun, tentu saja penulis tidak mengamini begitu saja pendapat ini, sebab ada sebuah kekhawatiran yang masuk list pertimbangan. Dengan legitimasi pendapat ketiga, di khawatirkan akan muncul sebuah paradigma praktis yang tentu saja implikasinya ada pada aplikasi teks secara sembarangan. Dengan dalih elastisitas hukum Islam, akan berpengaruh kepada nilai sakralitas al-Qur’an yang kemudian menjadi tercabik. Sebab, tidak menutup kemungkinan aplikasi itu hanya sebagai justifikasi sederhana dari sebuah tindakan tanpa memperhatikan urgensitas reaplikasi. Tapi di sisi lain, tak ada yang salah dalam reaplikasi ayat saat hal itu benar-benar di butuhkan.

Al-Qur’an vs al-Sunnah

Telah maklum, bahwa di antara empat mashadir al-ahkam dalam Islam, yang mendapat porsi naskh hanya ada dua, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah –khususnya bagi para pendukung Naskh-. Ada empat klasifikasi, yaitu (1) Naskh al-Qur’an dengan al-Qur’an. (2) Naskh al-Sunnah dengan al-Sunnah. (3) Naskh al-Sunnah dengan al-Qur’an (4) Naskh al-Qur’an dengan al-Sunnah. Untuk poin I, 2, 3 , sepertinya kita tidak perlu membahas lebih jauh lagi. Karena para ulama pun telah sepakat dalam legitimasinya. Yang menjadi perdebatan adalah poin terakhir. Ketika al-Qur’an di hadapkan dengan Sunnah, yang mana Sunnah berposisi sebagai eleminator. Maka mengiringi perdebatan legalisasi naskh itu sendiri, masalah ini pun turut meramaikan polemik seputar naskh.
Pro dan kontra meramaikan perdebatan ini. Di antara ulama yang melegitimasi naskh al-Qur’an dengan sunnah adalah Imam Malik, Abu hanifah dan para teolog baik Asy’ary ataupun Mu’tazilah. Sekali lagi, alasan yang di kemukakan menyangkut rasionalitas realisasinya. Secara rasio tidak ada yang menghalangi legalisasi sunnah menganulir hukum dalam al-Qur’an. Selain itu, mereka menganggap keduanya merupakan satu dalam wahyu. Seperti yang tertuang dalam al-Qur’an bahwa apa yang keluar dari Nabi merupakan wahyu “Dan tiadalah yang di ucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS 53:2, 3).

Lain halnya dengan ulama yang melarang adanya naskh al-Qur’an dengan sunnah. Misalnya, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Statemen Allah Swt kepada Nabi yang termaktub dalam surat al-Nahl 44 “Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”, menjadi salah satu hujjah mereka. Menurut mereka, ayat ini sudah cukup jelas menegaskan tugas serta fungsi Nabi sebagai interpreter al-Qur’an saja, bukan sebagai eliminator. Di samping itu, mereka menempatkan posisi sunnah sebagai far’un (baca: cabang) yang mana di tetapkan oleh asl (baca: al-Qur’an) tentang kehujjahannya. Dan tentu saja, mustahil Far’un menganulir Asl.

Yang menarik disini, adanya tarik-menarik ayat yang di gunakan sebagai dalil. Jika sebelumnya surat al-baqarah 106 di gunakan untuk menjustifikasi mereka yang mengingkari naskh secara mutlak. Di sisi lain, ayat ini juga berperan penting dalam memperkuat pendapat yang mengingkari adanya naskh al-Qur’an dengan sunnah. Bisa kita lihat dari penafsiran mereka dalam lafadz-lafadznya. “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya”, dengan kata kunci “lebih baik”, ide-ide penolakan itu muncul. Sebab, secara umum telah mafhum bahwa sunnah tidak lebih baik, bahkan untuk sekedar berjejer pada barisan yang sama dengan al-Qur’an. Kemudian “kami datangkan” pun ikut andil disini. Lafadz ini merupakan sebuah penegasan atas subjek yang berhak menaskh, yang dalam hal ini adalah Allah Swt. Terlebih jika kita membumikan aksi redefinisi sunnah oleh Syahrour, yang mana sunnah hanya diartikan sebagai peran nabi dalam mentransformasikan ajaran “mutlak” menuju ajaran “nisbi” sesuai tuntutan-tuntutan sosio-religius abad ke-7 M.

Hujjah mereka memang terkemas apik pada zona masing-masing. Hanya saja, sedikit menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada alasan yang cukup prinsipil untuk menafikan peran sunnah dalam proses abrogasi al-Qur’an. Sebab sunnah yang mengamandemen al-Qur’an juga mempunyai identitas penting, yaitu mutawatir. Selain itu, jika di kembalikan kepada definisi sunnah yang di kemas oleh ulama klasik, yang merupakan semua perkataan, perbuatan, dan ketetapannya. Maka, bisa dikatakan Sunnah pun mempunyai porsi sebagai hujjah, bahkan sebagai pihak yang menganulir teks. Meski, dengan pembacaan sederhana, sangat mustahil jika anak buah mengambil atau turut menentukan kebijakan yang di ambil sang pimpinan. Namun, dalam masalah ini, kita tidak bisa menafikan substansi yang di usung oleh sunnah itu sendiri. Secara konkret bisa kita lihat dari beberapa potongan ayat tentang wasiat, klasifikasi halal dan haram untuk bangkai, dan lain sebagainya.

Dalam potongan surat al-baqarah 240 “hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya”, telah di nyatakan mansukh oleh Sunnah Nabi “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Dengan pembacaan sederhana juga, substansi yang terkemas dalam Sunnah ini memang aplikatif. Dan telah menjadi kesepakatan bahwa hukum wasiat yang berlaku saat ini senada dengan yang di jelaskan dalam Sunnah. Pun dalam masalah klasifikasi bangkai yang di haramkan misalnya. Dalam al-Qur’an surat al-Maidah 3 “Di haramkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah…”. Secara literal, bangkai dan darah akan mencakup semua jenis. Sunnah datang untuk menjelaskan serta menganulir teks tersebut, dengan redaksi yang menunjukkan bahwa ada dua bangkai yang di haramkan, yaitu Ikan dan Belalang. Sama halnya yang terjadi pada redaksi darah dalam ayat ini. Oleh sunnah di jelaskan, ada dua darah yang di halalkan, hati dan limpa.[8]

Dari substansi aplikatif disana, bisa di simpulkan kemungkinan Sunnah menasakh teks. Sebab, sekali lagi, keduanya sama dan satu dalam wahyu. Jika yang di permasalahkan adalah siapa pelaku dari naskh itu. Maka sebenarnya, ketika sunnah mulai mencoba mengotak-atik al-Qur’an, maka inipun merupakan indikasi dari tindakan Allah Swt. Hanya saja, mungkin yang perlu di perhatikan adalah kredibiltas dari hadits tersebut. Bukan berarti dengan legitimasi ini, bisa semena-mena mengambil sunnah yang masih di pertanyakan identitasnya. Selain itu, sunnah bukan bersumber dari tendensi pribadi dan subyektif Nabi, sebab ada esensi lain yang melekat disana. Di antaranya, relevansi sunnah itu sendiri dengan tuntutan kultural. Hal ini di amini oleh Nasr Hamid Abu Zayd dalam statemennya bahwa, al-Qur’an dan sunnah merupakan dua teks agama yang mempunyai beberapa hal yang membuat sunnah masuk pada strata di bawah al-Qur’an. Namun, mengesampingkan sunnah dalam interaksinya dengan al-Qur’an, maka itu berarti mengabaikan sisi penting dalam pemahaman sebuah teks. Karena penyetaraan antara al-Qur’an dengan sunnah tidak lebih bahaya dari mengesampingkan sunnah secara mutlak.[9]

Sebuah telisik eksistensi teks sakral


Kembali menelisik tentang terma ini, kita akan di hadapkan dengan sebuah pertanyaan tentang eksistensi teks al-Qur’an. Kita mengenal pola-pola naskh. Diantaranya, naskh teks tanpa hukum, naskh hukum tanpa teks dan naskh keduanya. Dari ketiga pola diatas, yang tidak menuai argumentasi dari pihak manapun (baca: pendukung naskh) tentang kesesuaiannya dengan konsep naskh, ada pada pola kedua. Hanya saja, mungkin akan muncul sebuah stigma, bahwa teks yang tertinggal hanya akan menjadi sebuah teks bisu tanpa faedah, selain sebagai pengingat akan anugerah Allah Swt dan pahala bagi yang membacanya saja. Pola seperti ini bisa kita temukan dalam 63 surat dalam al-Qur’an. Salah satu contoh adalah ayat tentang Iddah dalam surat al-Baqarah 234 dan 240. Namun, mungkin satu hal yang perlu kita perhatikan. Seharusnya, manusia berusaha berfikir cerdas dan sebagai salah satu bentuk positif thinking kita kepada-Nya, dengan melihat hikmah dari itu semua. Dengan tetap di munculkannya teks itu, Allah Swt menunjukkan satu hal yang sangat penting bagi manusia, yaitu sebuah proses. Sebagaimana yang terjadi dalam penahapan hukum sebagai upaya dispensasi Tuhan untuk manusia.

Sedangkan untuk pola pertama dan ketiga, ada beberapa hal yang memunculkan sebuah argumentasi skeptis. Yang mungkin saja itu adalah sebuah kekhawatiran adanya dugaan rearrangement teks setelah wafatnya Nabi. Seperti ayat susuan yang menjadi barometer vonis muhrim (yang termasuk dalam pola ketiga). Yang mana statemen itu muncul dari seorang Aisyah ra, yang justru menjadi sebuah boomerang dengan identitasnya sebgai hadits Ahad. Dan itulah salah satu faktor yang mendukung sikap skeptis namun tidak apatis dari ulama. Pasalnya, di dalam al-Qur’an tidak ada teks khusus yang mengungkap limit susuan untuk menetapkan hukum muhrim. Pun dalam pola pertama. Seperti ayat tentang zina dalam al-Qur’an, yang mana sebatas menyinggung antara pezina laki-laki dan perempuan saja, tanpa menyebutkan pernikahan sebagai label dalam menentukan hukuman yang akan di terima, yaitu antara cambuk dan rajam. Dan di sisi lain, hadits yang di riwayatkan dari Umar tentang statemen yang di adopsi dari Zayd bin tsabit, ketika hendak menulis mushaf menyatakan tentang status pelaku zina dan hukumannya.

Agaknya pengaruh kedua pola ini memang sedikit mengkhawatirkan. Dimana posisi teks yang tidak ada wujud konkretnya selalu di pertanyakan, baik itu orisinalitasnya ataupun tendensi yang di inginkan dalam penghapusan teks-teks tersebut.

Mashlahah; identitas utama Naskh

Sejatinya, kemashlahatan layak menjadi identitas utama dari naskh. Dan tentu saja hal ini sangat berkait dengan fakta historis gradualitas turunnya al-Qur’an. Mengingat, sebagian besar dari ayat al-Qur’an turun dalam konteks historis yang berbeda.

Telah jamak kita ketahui, bahwa naskh merupakan salah satu bukti adanya sebuah dialektika antara teks dan realita. Teks hanya akan menjadi sebuah teks bisu jika tidak mempunyai sifat aplikatif. Maka seiring dengan adanya perubahan kondisi sosio-kultural manusia, maka seakan menjadi sebuah keniscayaan adanya perubahan hukum teks yang menjadi pedoman kehidupan mereka.

Banyak hikmah yang bisa kita ambil dengan adanya nasikh mansukh. Dalam Syari’at agama misalnya. Seperti kita ketahui, bahwa syari’at terakhir yang telah menasikh syari’at yang di usung oleh para Nabi sebelumnya, merupakan syari’at yang komprehensif dan paling kamil. Substansi yang di bawa oleh Nabi Muhammad Saw telah merangkum semua yang ada pada syari’at sebelumnya.

Allah memberikan sebuah dispensasi (takhfif) kepada manusia melalui konsep ini. Mengingat masa transisi histori berpengaruh besar pada perjalanan teks agama, untuk menjadi sebuah pedoman yang ideal dan shalih lukilli zaman wa al-makan.

Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: "Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah."[10]

Meski ada beberapa ulama yang tidak sependapat dengan konsep yang di ungkapkan ulama klasik seperti al-Maraghi, yang mana Naskh merupakan proses pendeletan hukum atau teks. Katakan saja Muhammad Syahrour atau Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan konsep dasar bahwa naskh merupakan sebuah “penangguhan” hukum, yang di maksudkan adanya penahapan dalam syariat, sehingga disini kita tidak bisa semena-mena menafikan hukum-hukum atau teks-teks yang di nyatakan mansukh begitu saja. Namun, Sebenarnya semua mempunyai tendensi utama, dan semua akan berujung pada satu hal yaitu mashlahah.

Epilog


Dalam aplikasinya, dialektika antara teks dan realita merupakan satu hal yang urgen. Karena dari sini kita bisa melihat bagaimana elastisnya implementasi teks-teks yang identik dengan sakralitasnya. Naskh, merupakan sebuah terma polemis, yang oleh sebagian kalangan dipandang mampu merepresentasikan substansi al-Qur’an yang membumi. Meski berbagai argumentasi di lontarkan sesuai dengan peta pemikiran masing-masing, baik menyangkut legalisasinya, perbedaan konsep yang di usung oleh masing-masing pihak ataupun eksistensi teks agama tersebut. Namun di sisi lain, hanya ada satu tendensi disana, yaitu mashlahah. Sebab, disanalah eksistensi serta fungsi teks akan nampak.

Dan seperti yang telah di singgung sebelumnya. Naskh bisa di ibaratkan sebagai sebuah proses menuju kesempurnaan. Sebuah pendewasaan. Dan sebuah indikasi dari bijaknya keputusan Tuhan bagi manusia. Yang tentu saja, implikasinya adalah semakin berkualitasnya hubungan vertikal manusia dengan Allah Swt. Namun, apapun keputusan Tuhan, itulah skenario cantik-Nya untuk manusia.

Demikian sebuah makalah sederhana, seputar naskh yang bisa penulis sampaikan dalam diskusi kali ini. Ketika sesuatu di katakan sempurna, maka tak akan ada kritikan yang bisa terlontar. Namun, sekali lagi makalah ini cukup elastis untuk menerima kritik serta koreksi. Maka, dengan sajian apa adanya ini, penulis hanya berharap bisa di jadikan sebagai pengantar menuju tela’ah yang lebih kritis, dan semoga bermanfaat. Wallahua’lam. [ ]


Bibliografi

Al-Zarqany, Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-‘Irfan, juz II, Dar al-Hadits, 2001.
Qardhawy, Yusuf, Kaifa nata’ammalu ma’a al-Qur’an al-Adhim?, Dar al-Shorouk, cet.V, 2006.
Al-Ghaly, Hisyam Rusydi, Bi al-Hujjah wa al-Burhan La naskha fi al-Qur’an, al-Maktab al-Araby li al-Ma’arif, cet. I, 2005.
Al-Nuhas, Abi Ja’far, al-Nasikh wa al-mansukh fi al-Qur’an al-Karim, al-Maktabah al-Asyriyah, 2004.
Jum’ah, Ali, al-Naskh ‘inda al-Ushuliyyin, Enahdah Misr, 2005.
Zayd, Nasr Hamid Abu, Mafhum al-nash, al-Maghrib: Dar al-baidha’, Cet.VI, 2005.
Al-Jabiry, Abdul Muta’al Muhammad, la Naskha fi al-Qur’an limadza?, Maktabah Wahbah, cet. I, 1980.
Syahrour, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashirah.
Al-Qur’an dan terjemahannya.
[1] Makalah ini di presentasikan dalam diskusi FORDIAN, 28 Maret 2008.
[2] Penulis adalah Mahasiswi Universitas al-Azhar, Fak. Ushuluddin, Jur Tafsir, Tk III.
[3] Muhammad Abdul Adhim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, Juz II, Dar al-Hadits, 2001. Hlm, 146.
[4] Yusuf Qardhawi, kaifa nata’amalu ma’a al-Qur’an. Dar al-Shorouk, Cet.V, 2006, hlm 333.
[5] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, Dar al-Baidha’. Cet VI, 2005. Hal 118.
[6] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. Di kutip dari Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Sulaiman Mar’iy, Singapura, t.t.h., jilid I, hlm 151.
[7] Abdul Muta’al Muhammad al-Jabiry, La Naskha fi al-Qur’an, Limadza?, Maktabah Wahbah, 1980, hlm 15.
[8] Abu Ja’far al-Nuhas, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Qur’an wa al-Mansukh. Dar al Namudzajiyyah, Hlm 269.
[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash. Dar al-Baidha’, Cet. VI, 2005, hlm 124.
[10] Dr. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an. Di kutip dari Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghy. Al-Halaby, Mesir, 1946 jilid I, hlm 187.

Comments (0)